JEMBATAN PENSIL
SINOPSIS
Bercerita tentang kehidupan anak sekolahan di daerah pedalaman. Mereka harus berjuang untuk mendapat pendidikan di sebuah sekolah gratis yang dibangun oleh seorang Guru. Cerita berpusat pada Ondeng (Didi Mulya), seorang anak berkebutuhan khusus yang menjalin persahabatan dengan Inal, Nia, Aska, dan Yanti. Ondeng yang memiliki ‘keterbelakangan’ dan Inal yang tuna netra, dalam setiap perjalanan menuju sekolah, mereka harus melewati sebuah jembatan rapuh, ditambah dengan jarak tempuh yang jauh. Lika-liku tersebut tidak mematahkan semangat mereka untuk pergi ke sekolah.
Meski masyarakat setempat banyak yang kurang peduli akan pentingnya pendidikan, Ondeng dan teman-temannya memiliki cita-cita yang sangat mulia. Ondeng sering membuat sketsa kehidupan ayahnya yang merupakan seorang nelayan dan sketsa sebuah jembatan. Cita-citanya adalah bisa membangun sebuah jembatan yang layak agar sahabat-sahabatnya dapat pergi ke sekolah dengan mudah. Titik balik dari film ini adalah saat jembatan rapuh itu rubuh. Selain itu, Ondeng harus kehilangan ayahnya. Setelah perjuangan yang gigih, Ondeng dapat mewujudkan cita-citanya, membangun jembatan baru.
KELEBIHAN FILM
Film ini menyajikan realitas yang memang benar adanya terjadi di pedalaman-pedalaman Indonesia. Mulai dari sangat sederhananya sarana dan prasarana sekolah, akses dan medan yang sulit, pakaian dan alat tulis siswa yang serba seadanya, dan kurangnya jumlah tenaga pengajar. Banyak pesan moral yang bisa kita dapatkan. Begitu gigihnya kemauan Ondeng dan kawan-kawan untuk mendapatkan pendidikan dapat menggugah semangat penonton, khususnya pelajar untuk belajar.
Didi Mulya dirasa sangat baik dalam memerankan tokoh Ondeng. Selain itu, selama menonton Jembatan Pensil, mata penonton sangat dimanjakan dengan keindahan alam pulau Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, khususnya pantai Towea. Tak sekadar pantai dan keindahan alamnya, film ini juga menonjolkan aspek budaya masyarakat Pulau Muna. Latar musik yang bagus dan bisa mewakili setiap suasana semakin menambah kekaguman penonton dalam film ini.
KEKURANGAN FILM
Kurang matangnya skenario film Jembatan Pensil membuat beberapa pengambilan gambar terasa seperti sinetron.Sedikit mengecewakan, karena Jembatan Pensil lebih menonjolkan sisi dramanya daripada edukasi. Peran aktor dan aktrisnya juga kurang maksimal. Bisa terlihat bahwa tidak semua aktor di sini menuturkan dialek dan aksen khas Muna dengan baik. Lagi-lagi, kekurangan terbesar perfilman Indonesia adalah kurang maksimalnya tata rias. Terasa sangat janggal ketika ada seorang nelayan yang memiliki kulit putih bersih, seakan ia baru keluar dari salon, bukan habis terpapar teriknya sinar matahari.
KESIMPULAN
Saat menonton film Jembatan Pensil, terasa seperti disodorkan menu makanan yang sama dan sudah pernah mencicipinya. Mungkin karena kurang matangnya penggarapan kisah dan skenario, alhasil terlihat seperti sedang menyaksikan Laskar Pelangi jilid 2. Hadirnya talenta-talenta aktor dan aktris lokal dalam film ini patut untuk diapresiasi. Untuk ke depannya, jika ingin menghadirkan film-film bernuansa lokal, pihak produksi harus bisa mematangkan riset budaya dan riset naskah. Sehingga dapat menghasilkan film dengan kualitas yang baik dan memperkaya pengetahuan kita akan suatu budaya lokal.
SANG PENCERAH
Sang Pencerah adalah film drama tahun 2010 yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo berdasarkan kisah nyata tentang pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Film ini dibintangi oleh Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan, Muhammad Ihsan Tarore sebagai Ahmad Dahlan Muda, dan Zaskia Adya Mecca sebagai Nyai Ahmad Dahlan.
Film ini menjadikan sejarah sebagai pelajaran pada masa kini tentang toleransi, koeksistensi (bekerjasama dengan yang berbeda keyakinan), kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang.[1] Sang Pencerah mengungkapkan sosok pahlawan nasional itu dari sisi yang tidak banyak diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai pembaharu Islam di Indonesia. Ia memperkenalkan wajah Islam yang modern, terbuka, serta rasional.[2] Versi novel kisah ini ditulis Akmal Nasery Basral berdasarkan skenario film yang dibuat sutradara Hanung Bramantyo.[3]
Daftar isi
1 Sinopsis
2 Pemeran
3 Produksi
4 Referensi
5 Pranala luar
Sinopsis
Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah sesat, Syirik dan Bid'ah.
Dengan sebuah kompas, dia menunjukkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka'bah di Mekah, melainkan ke Afrika. Usul itu kontan membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kyai Penghulu Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama berabad-abad lampau.
Walaupun usul perubahan arah kiblat ini ditolak, melalui suraunya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah. Ahmad Dahlan dianggap mengajarkan aliran sesat, menghasut dan merusak kewibawaan Keraton dan Masjid Besar.
Bukan sekali ini Ahmad Dahlan membuat para kyai naik darah.
Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat . Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda, serta mengajar agama Islam di Kweekschool atau sekolah para bangsawan di Jetis, Yogyakarta.
Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Ganesha), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adhiswara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar